Mudik dan Balik Bandung dari Aceh, dari yang Bereh hingga Remeh

Alhamdulillah sudah sampai ke Kota perantauan, kota Bandung. Sungguh perjalanan mudik dan arus balik dari Aceh yang lumayan panjang, menguras tenaga, waktu dan dana yang tidak sedikit tentunya untuk kami pedagang yang baru dihajar pandemi. Nanti kedepan kalo ada yang nanya kenapa jarang pulang kampung mungkin bisa nanya langsung ke Pak Prabowo dan Ust YM. Jangan tanya saya lagi.

Btw, mudik kali ini memang spesial. Walaupun singkat tapi sangat terasa karena sudah lama tak pulang kampung dan kembali merasakan bahwa teman terbaik dan peduli saat susah ternyata adalah keluarga, walaupun mungkin kita pernah berkali-kali mengecewakan mereka. Itulah namanya ikatan sedarah, baik buruknya kita tetaplah saudara dekat. Lebih mudah memaafkan saudara ketimbang orang lain ya kan.

Itulah keluarga, saat kita berkali-kali berantem dan berbaikan kembali. Berbeda dengan teman yang terkadang sudah berantem bermaafan tapi takkan sama kembali, menjawab salam tapi enggan salaman. Sama kayak lirik sebuah nasyid jadul dari Nowseeheart: "sayangi keluarga, disitulah bahagia". 

Alhamdulillah dikarunia keluarga besar yang baik semua, dengan kelebihan dan kekurangan yang beragam. 

Mohon maaf juga buat ratusan kawan-kawan lama yang belum sempat saya ajak ketemu satupun.
Mungkin saya yang minder ngajak ketemuan karena mereka semua sudah hebat-hebat semua. Ada yang sudah jadi pak kepala dinas, pak kabid, pak camat, pak dokter, pak dosen, dan pakpak yang lain. Sedangkan saya siapa, hanya remahan tango di sudut sendal bocil-bocil.
Atau mungkin ada yang ngajak ketemuan pas saya udah di kota lain, mungkin kedepan bisa bertemu lagi kalo saya masih hidup tentunya. Saya ingin menulis "nanti kita ketemuan saat saya sukses", tapi ini sangat tendensional, kasar dan tak baik. Walaupun sedikit masuk akal. Eh kok saya tulis pula.

Mudik kali ini juga menyadarkan saya bahwa saya yang dulu sering merindukan Aceh tapi kali ini mulai sedikit merasa "I don't belong there", kayak emang udah cocok jualan di perantauan dimana tak ada yang berkomentar kalo kita belum sukses, tak ada yang berkomentar kalo mobil kita belum semengkilat mobil-mobil salon. Tak ada yang komentar kalo rumah kita tak seluas rumah-rumah KPR. Karena terkadang nafsi-nafsi di kota besar itu penting untuk remahan roti gabin kayak kami. Everything gonna be fine, we'll enjoying this life on different way. Yang penting tidak "meulanggeh" (melanggar) agar hidup jadi "meutakeh" (enak). Kosa kata terakhir itu saya baru tau pas pulang kemaren.

Mau nulis panjang lagi tapi ntar bukannya nambah teman, malah mengurangi teman.
Tapi sekali lagi mohon maaf lahir batin buat semua ya. Semoga tidak ada dosa diantara kita.

Btw, sekarang saatnya siapkan tenaga untuk bekerja sambil beribadah agar hidup yang singkat ini menjadi lebih berkah. Bismillah...

Dari PKS Hingga Gelora: Bekas Luka yang Tak Kunjung Sirna


Saat mengantar istri ke rumah teman lama di Komplek PKS untuk silaturahim setelah 5 tahun tak bertemu, saya berpapasan dengan 5 orang teman lama di PKS. Saya sangat senang mereka menjawab salam saya walaupun mereka tak sempat bersalaman padahal sudah lebih dari 5 tahun berlalu. Padahal dulu kami sangatlah akrab. Tapi itu tak aneh karena saya pernah keluar dari keanggotaan PKS dan masuk ke Gelora namun setelah itu gak aktif lagi di gelora. Intinya gak dimana-mana. 

Namun saya melihat ada sedikit luka di mata mereka. Karena saya pernah berselisih paham dengan mereka, mungkin sudah saling memaafkan. Saya sudah minta maaf ke beberapa mereka, tapi luka tetaplah luka. Lebih mudah mengobati luka daripada menghilangkan bekas luka.

Saya menyesali dulu pernah tersulut untuk ikut berperang dalam sengketa PKS Gelora. Padahal itu adalah langkah terbodoh yang pernah saya ambil. 

Saya kehilangan teman-teman baik di PKS, sekaligus juga kehilangan teman-teman di Gelora. Karena saya lihat di Gelora memang memprioritaskan tokoh umum yang punya pengaruh dan dana agar tidak terseok di 2024. Itu sangat masuk akal dan bisa dipahami.

Namun saya yang ikut menyeberang kesana ternyata juga gak siap dengan atmosfir politik yang terlalu umum. Anda tidak bisa memaksa seorang alumni 212 yang 20 tahun di PKS kemudian aktif dan luwes di partai yang agak mirip kayak Nasdem atau PDIP. Saya tak se-moderat itu. 

Karena dulu waktu keluar saya juga dijanjikan tetap ada usrah sama seperti di PKS. Setelah keluar malah zonk jadi training dan seminar umum gitu. 

Jujur disitu saya kecewa tapi mau gimana lagi, saya bukan orang yang berpengaruh dan hanya bisa diam. Saat beberapa kali saya sampaikan akhirnya mental dan gak terserap. Akhirnya ya terima saja, memang beginilah kalau kita terlalu percaya kepada politisi.

Dulu saya membantah perkataan bapak saya waktu awal saya kuliah dan mulai aktif di partai. Kata beliau partai politik dimana-mana sama saja. Ketika dibutuhkan kamu akan dipakai, ketika gak dibutuhkan lagi maka kamu akan dibuang. Dulu saya gak mendengar karena bapak saya mantan petinggi partai Golkar, partai nasionalis, bukan partai Islami.

Namun sekarang saya menyadari, mau partai sekuler mau partai Islami, semua punya kepentingan. Dan hal yang bapak saya ucapkan tadi benar-benar berlaku dan sekarang saya baru menyadarinya.

Anda akan dilirik bila:
- Orang biasa tapi bisa diperalat
- Orang punya harta banyak buat mendanai pemilu
- Orang yang punya suara dan pengaruh di masyarakat

Sedangkan saya gak punya satupun ciri diatas.

Jadilah saya ke kiri gak ke kanan gak.

Sudahlah, 
Namun yang saya sedihkan adalah saya kehilangan teman baik saya di PKS yang sampe sekarang hanya bisa komunikasi via WA. Mungkin mereka gak mau bertemu karena takut dikira macam-macam kalo sampe berfoto dengan saya. Dan saya mengerti itu.

Dulu waktu keluar dari PKS saya udah tegaskan tetap akan menjalin komunikasi yang baik dengan temen-temen akrab. Walaupun ada juga beberapa kader yang membuat saya kesal karena over react,tapi itu jumlahnya sedikit. 

Dulu saya keluar hanya karena oknum pimpinan yang kurang menghargai kader kecil seperti kami yang masih mikirin beras tapi masih disuruh paksa bai'at ulang, begini begitu. Akhirnya saya sebagai orang Aceh yang sangat anti dengan hal itu akhirnya keluar, dengan jaminan dari temen bahwa sebelah sana ada juga usrahnya. 

Tapi janji tinggal janji, bubur kanji terlanjur basi.

Akhirnya disinilah saya. Dijauhi oleh PKS dicueki di Gelora. 

Kalo dipikir-pikir ya salah saya juga kenapa harus mempercayai mereka semua.

Mereka hanya butuh keahlianmu, tenagamu, mereka hanya butuh kamu sebagai alat. 

Mendadak jadi ingat pas ketemu ketua partai di sebuah mesjid dan saya ditertawai. Saya langsung tau arah dan maksud sikapnya tersebut. Bahwa saya gak jelas, gak bisa pake. 

Btw, saya biasanya menilai orang melihat saya dari matanya. Bukan dari kata-katanya. Karena mata gak bisa bohong.

Dan terbukti sampe sekarang saya gak bisa di pake. Gak bisa diatur seenaknya.

Gak bisa diperalat.

Kalopun mau kerjasama maka saya akan minta bayaran atas keahlian dan waktu yang terbuang. Jelas-jelas aja soalnya para politisi juga menikmati hasil yang tidak sedikit. Intinya saya bisnis. Saya bukan anggota partai manapun, tapi kalo mau kerjasama ya seperti pelanggan konveksi saya. Harus cash. Tak ada istilah "ini untuk dakwah, ini untuk kemajuan Indonesia".

Maaf dapur kami butuh beras. Kami belum kaya.

Maafkan saya yang terlanjur materialistis, tapi ketika anda tinggal di kota besar hal itu akan masuk akal.

Tak ada ukhuwah sejati disana
Tak ada teman sejati disana

Teman sebenar adalah keluarga, yang beneran care saat kita sakit. Yang mendoakan, bukan sekedar nulis doa di komen dan like.

Keluarga, yang dulu kita kesampingkan untuk kepentingan dakwah dan politik kita, nyatanya lebih tulus. Lebih ikhlas, walau bagaimanapun tingkah laku dan kesalahan kita. 

Keluarga adalah tempat kita berantem dan berbaikan kembali.

Namun di partai politik dan jamaah, hal itu jarang bisa terjadi.

Bekas luka akan selalu ada.

Walaupun tak termaafkan minimal sudah mencoba berkata: maafkan saya atas semua kelakuan dan salah saya. Teruntuk semua kader PKS dan Gelora.

Semoga di akhirat tak ada dosa diantara kita, sehingga dimudahkan masuk ke jannah-Nya. Amin ya Rabbal 'alamin.



Hilangnya Teman Ngopi di Aceh


Satu sisi saya merasa perlu menulis ini, tapi disisi lain saya merasa gak perlu. Tapi akhirnya saya putuskan untuk menulis, walaupun sebelumnya takut dianggap curhat, ngeluh atau baper.

Jadi gini, mudik kali ini adalah termasuk mudik terberat selama saya merantau. Setelah bisnis babak belur dihantam pandemi, dengan dana tersisa kami putuskan pulang kampung karena ada kewajiban mengabdi kepada ortu yg sudah tua dan sakit-sakitan, karena lebih prioritas keluarga daripada bisnis.

Jujur saja, kami menghabiskan dana hampir 20 jutaan untuk mudik kali ini. Tau sendiri kan kalo tiket pesawat bener gila-gilaan kalo udah dekat lebaran, padahal kami pesan agak jauh dikit dengan lebaran tapi tetap saja mahal karena baru kali ini arus mudik yang paling ramai karena pandemi hampir berakhir dan syarat penerbangan gak seribet dulu.

Saya berjanji tak akan baper bila di kampung halaman dianggap gak sukses, belum jadi orang karena gak jadi PNS atau belum jadi pengusaha yang sukses. 

Tapi rasa baper itu nyelip juga dikit-dikit hingga membuat saya tersadar "I'm not belong here". Tempat saya bukan disini. Saya sudah cocok merantau ke Bandung, dimana saking majemuknya penduduk mereka gak memperdulikan mana yang PNS mana yang sukses mana yang biasa aja. Terkadang nafsi-nafsi itu menguntungkan bagi orang-orang yang belum sukses seperti kami. 

Kami mudik hanya 10 hari. Dan sudah 5 tahun kami gak mudik. Dan satu hal yang saya fokuskan, yaitu mudik kali ini adalah untuk ortu dan mertua. Mengunjungi orang tua. Saya tak terlalu berharap bisa bertemu dengan teman-teman lama dengan alasan:

Kader PKS: saya sudah gak di partai (sebagian kader mungkin menganggap saya penghianat karena ada yang gak mau salaman waktu ketemu kemaren)
Kader Gelora: saya juga gak di partai (sebagian kader menganggap saya bukan lagi bagian dari mereka, komentar dan like juga gak pernah hinggap lagi. Kayak perkataan seorang petinggi "gak beres dia", merujuk ke orang kayak saya yang suka mengkritik)
Alumni dakwah kampus: udah lost contact, yang dicontact pasti istri saya soalnya dia mantan wakil ketua, disenangi semua orang
Alumni KAMMI: "tongkrongan kami, bukan tongkrongan pecundang"
Alumni Kampus: saya gak punya circle disini, siapa saya yang pede ngajak ketemuan
Alumni sekolah: saya juga gak punya circle disini, siapa saya. Pejabat bukan pengusaha sukses bukan. Jadi minder ketemuan.

Kedengaran kayak curhat kan? Emang!

Sedih? Dikit. Menyesal mudik? Gak!

Ini membuka mata dan memastikan hati saya bahwa saya sudah 10 tahun merantau saya selalu rindu kampung halaman, dan merasa kayaknya sekarang saya gak rindu lagi sekarang. Dan faktanya juga, walaupun banyak komunikasi via medsos tetap aja pertemanan terbaik adalah dengan bertemu. 

Dan 10 hari saya di Aceh, saya gak ngopi dengan satupun temen. 

Bener, gak ngopi. Gak ketemu. 

Ngopi, adalah budaya wajib bagi laki-laki yang punya temen di Aceh. Aceh adalah syurganya ngopi, kemanapun anda pergi pasti banyak warung kopi disini. 

Intinya saya kehilangan teman, kehilangan teman ngopi yang dulu pernah ada sebelum merantau 10 tahun lalu. 

Ironisnya, friends dan follower di FB sekitar 6000, IG 1500an, friend di medsos lain jumlahnya ribuan. Ini jadi bukti bagi anda bagi saya bahwa kawan di medsos itu bener-bener maya. Kawan sebenarnya adalah yang mau duduk berbincang deep talk walaupun dia gak aktif di medsos. 

Apakah circle temen ngopi memprioritaskan yang punya jabatan dan sudah sukses? Bisa jadi. Karena ada kejadian yang begitu. Liat aja kalo ketemu biasanya yang jabatannya mentereng pasti disambung dengan hebring, dielu-elukan, dipuji-puji. Sedangkan yang belum sukses biasanya meringkuk sendiri makan nasi bungkus di pojokan.

Itu adalah realita dunia, bahwa yang berjabatan akan dipandang. 

Ya, yang berjabatan dan punya pengaruh akan dipandang. Ini fakta.

Dari tulisan ini anda bisa juga menyimpulkan bahwa bisa jadi yang nulis inilah yang gak pandai berkawan, gak pandai bersosialisasi. 

Nah itu bisa jadi, karena semenjak di perantauan hidup saya sangat keras sehingga membatasi pertemanan dengan yang lain. Ditambah lagi perang antar PKS dan Gelora membuat saya gak bisa kemana-mana. Kader PKS menganggap saya udah berkhianat, sedangan Kader Gelora menganggap saya gak bisa dipake dan diatur. Akhirnya saya gak kemana-mana. Hanya bisa fokus bisnis dan bikin konten dakwah di medsos sebagai aktualisasi saya sebagai da'i saja.

Hidup saya sepi? Ya 
Terlalu sepi? Gak juga, saya punya keluarga yang luar biasa. Teman saya adalah keluarga.

Malah realita itu menyadarkan saya akhir-akhir ini. Bahwa saat kita mati, kita gak bisa manggil siapa-siapa lagi. Hanya kita dan amal kita yang sebenarnya menuju akhirat. Uang, jabatan, pengaruh gak mempan disana.

Saat kemaren saat membaca WA ada seorang tokoh, teman sekaligus adik angkatan saya yang meninggal karena sesak, itu saya sedang mengantri di depan ruang dokter spesialis dengan keluhan yang sama, yaitu sesak. Dan sedihnya, saya pernah beradu argumen dan sampe ia meninggal saya belum sempat minta maaf. Jujur itu masih terbayang hingga sekarang. Sedihnya sampe hari ini.

Saya juga iri sama almarhum. Saat dia meninggal semua sedih semua berduka. Saya mencoba merasa-rasa saat hampir meninggal saat sesak kemaren itu, siapa yang bersedih bila saya meninggal. Paling ortu, saudara, istri dan anak-anak. Yang lain mungkin hanya tau dari FB, menulis innalilahi kemudian tiga hari kemudian sudah lupa. Habis sudah kisah saya di dunia ini. The end, ya gitu aja. Hanya aku sendiri di dalam lubang itu.

Apa yang kucari di dunia ini?

Apa yang akan kutinggalkan?

Berapa orang yang telah tersakiti hingga mereka enggan bertemu?

Berapa orang yang terzalimi sehingga friend request saja tak terjawab?

Berapa orang temen yang marah karena dikritik?

Akhirnya saya ikhlas, saya akan jalani hidup dengan sebaiknya. Dengan keseriusan, dengan niat dakwah. Apapun kata orang.

Maafkan kesalahan saya di masa lalu. Atas kebodohan, atas adu domba, atas kelancangan dan kekasaran. Apapun organisasimu apapun partaimu apapun jamaahmu, kamu adalah sahabatku. 

Sengaja saya tulis ini agar suatu saat saya mati, ada yang menyadari bahwa pernah hidup seorang manusia yang membuat kesalahan, menyesalinya dan menanggung akibatnya. Terlupakan namun insya Allah tulisan dan semoga saja konten dakwahnya takkan terlupakan dan berharap menjadi amal di akhirat nanti. Untuk mengimbangi dosa-dosa yang menggunung tinggi dan bikin ngeri.


Yang penuh kekurangan dan kesalahan,


Mirza

Fahri Hamzah, Jokowi dan Talafi

Melihat kebencian sejumlah orang atas tidak walkout-nya Fahri Hamzah dari rapat DPR atas keputusan Presidential Treshhold membuat saya sempat keheranan. Saya bukanlah orang yang mengidolakan Fahri Hamzah, namun sikap sejumlah pihak yang menuduhnya pengkhianat adalah tidak tepat. 


Seperti yang kita ketahui, FH masih duduk di kursinya dan tidak ikut langkah partai-partai oposisi untuk walk-out. Namun yang namanya politik tidak sesederhana yang kita lihat. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar terkait hal itu. 

Namun izinkan saya bercerita sedikit tentang bagaimana seharusnya kita bersikap atas anggota jamaah atau partai yang dipecat.

Pertama, saya sendiri tetap melihat sisi baik FH yang mengatakan kepada setnov bahwa suaranya tidak termasuk dalam pengambil keputusan, walaupun ia tidak walkout.
Sejauh ini, yang saya ketahui, satu-satunya kader yang paling dibenci oleh kaum liberal dan antek cukong cina ya FH. 


Sampai hari ini, tulisan statusnya di medsos, di surat kabar, di media televisi, dll cukup membuat Jokowi cs gerah.
Sampai-sampai golongan sebelah harus mencari sosok yang good looking seperti Tsamara Amani yang heboh dengan cercaan newbienya kepada FH. 


Dalam politik, tak ada yang sesimpel keliatannya. Karena itu Anda dan saya tidak boleh terprovokasi dengan lugu untuk ramai-ramai mem-bully FH. FH juga gak perlu dibela karena dia sendiri sudah terbiasa di-bully.
Yang tidak adilnya kita adalah, ketika FH melakukan kesalahan, kita semangat menulis status cercaan, namun diam saat Jokowi menaikkan BBM dan TDL.


Kala itu, Anda dimana?


Saya sendiri tidak ingin ikut dalam pertikaian yang mirip seperti kelakuan Talafi (ngaku jamaah salafi tapi suka menghujat dan mengkafirkan). Contoh saja kelakuan Syafiq basamalah yang dengan ringan menuduh ISIS itu sumbernya dari Ikhwanul Muslimin. 

Dari situ sudah nampak bahwa mereka ini hanya fokus kepada ilmu tapi minus akhlak. Mereka lupa bahwa syech mereka sendiri yang mengatakan bahwa IM bukan ISIS, malah kebanyakan ISIS itu berasal dari oknum salafi yang sudah sesat. 


Karena itu, sikap mereka yang suka bertengkar satu sama lain tak usah kita tiru. Daripada membuang tenaga menghujat FH, kenapa gak dipakai untuk mengkritik Jokowi yang semakin tidak pro terhadap ummat Islam, salah satunya dengan pembubaran ormas Islam yang semakin mudah di rezimnya.

Grup Reuni Sekolah yang Bikin Resah

Biasanya, habis lebaran makin banyak undangan grup whatsapp alumni. Dan lazimnya sebagian temen ada yang baru diundang udah keluar. 

Sempat heran dengan fenomena tersebut, namun akhirnya sedikit terpecahkan. Bahwa hal tersebut berkaitan dengan kedekatan antar teman di dalam grup. 

Nah, kedekatan tiap teman lama itu menentukan respon ketika kita berkomentar dalam grup. Kalo dulunya kita orangnya akrab, pinter dan suka bergaul ya bakalan bagus respon dari semua anggota. Kalo dulunya pendiam dan kuper ya siap-siap dicuekin. 

Karena biasanya teman lama tak tau perubahan yang terjadi kepada kita sekarang. Banyak alasan orang mau bergabung di grup alumni, bisa jadi untuk menyatukan kembali komunikasi kawan-kawan lama, untuk mengembangkan jaringan bisnis, untuk mencari jodoh bagi yang masih jomblo, untuk mencari kawan ngopi dan kumpul-kumpul, untuk spamming iklan dan hoax, untuk pamer jabatan dan kekayaan, dll. 

Ambil sisi positifnya aja, yaitu untuk silaturrahim. Kalo perbincangan hanya berkisar orang-orang itu aja, tak usah keluar, tinggal silent dan off-kan notifikasi aja. Teman tetaplah teman, sebaik seburuk apapun mereka. Dan jangan membeda-bedakan antara kawan yang satu dengan yang lainnya. Selamat menjalin silaturahim.

Mesjid Dibakar, Pelaku Kok Diundang Makan Malam?


Judul diatas memang rada anti mainstream dan meleleh kayak icecream. Maklum ditulis siang bolong hari minggu saat orang-orang lagi bobok siang. Jadi begini ceritanya (serasa kisah misteri), barusan aja baca berita si botak GIDI ketemu sama Jokowi mau minta yang bakar mesjid di Tolikara gak sampe dihukum berat. Gak habis pikir ane. Tapi dari kejadian itu bisa kita liat nih kedekatan Jokowi dengan GIDI tuh. Seharusnya perwakilan mesjidlah yang harus curhat ke mas joko. Ini bahkan kebalik, aneh bener tuh orang, ini kacang lupa kulitnya (eh salah pulak pribahasanya, hehe).

Memang dulu masa kampanye ada yang bilang mas joko ini nonmuslim (noni-bukan nama cewek-tapi nonislan, eh non islam), tapi ane gak langsung percaya. Kabar hoax bisa masuk darimana aja ya kan. Sekali kena joko, ntar besok malah kita yang kena. Hoax buat rival juga senjata buat menjatuhkan penyerang (yang ini gak tau entah qoute dari pilem apa). Tapi yang jelas kedekatan mas joko dengan noni memang lebih terassa mengingat si mas dari partai merah yang mayoritas alegnya emang noni (walaupun ada yg nyamain PKI sama PDI gan, tapi ane gak langsung percaya, butuh waktu dong, hehe). Buntutnya ya sekarang kita-kita nih kayak kucing habis dilahirin sama emaknya, trus induknya mati, gak tau antara nangis laper atau nangis sedih, yang jelas gak ada lagi yang bela. Begitulah...(macam pilem pada zaman dahulu), muslim di negeri kayu dan batu jadi tendangan ini, salah pilih si bos ya salah juga yang dibela (salah ndiri sih udah diingetin sok belagu, ini itu sok tau-mirip lagu borju nih).

Si GIDI emang udah tersudut, bukti-bukti kesewenangan mereka udah beredar dimana-mana (udah kayak iklan selebaran "butuh dana cepat", minjem duit sama setan kredit, haha), dari pelarangan jilbab, larangan shalat idul fitri, sampe wajib ngecat rumah warga dengan bendera israel untuk menyambut pendeta yang bakalan datang pada acara seminar agama mereka, ni orang udah kayak ISIS bikinan amerika, sok paten banget (suruh cat langit aja sanah). Anehnya web berita semacam punya si brewok (gak yakin si bapak tu orang aceh) masih belum berani nyebut pelakunya teroris, kalo yang bakarnya orang islam cepet kali TV itu beritain headline teroris ini teroris itu (gak aneh, memang sebagian pemodalnya noni).


Reaksi si bos Joko dan JK pas kejadian juga gak kalah memiriskan gan. Jokowi diam walaupun setelah itu asyik masyuk nonton Cassino Kings. Kakek JK malah geram sama speaker (kasian si speaker dijadiin kambing, ntar pas kurban kena sembelih). Gak kalah mencengangkan, ternyata BIN juga udah tau masalah surat-surat larangan tu, tapi diem-diem aja. Kalo udah ribut baru bersuara nih orang, kayak kentut, kalo gak bersuara gak bakalan ada yang ngaku, haha.

Tapi untungnya ada orang-orang baek yang mau bela mesjid tolikara sambil ngumpulin dana, speecless ane gan. Jujur, orang-orang ini lebih mulia daripada yang cuma nonton berita trus diam, sibuk ama wajan dapurnya, takut diblacklist, gak naek jabatan (Giliran mesjid wilayahnya dibakar baru dia kelimpungan, makanya jangan apatis bro, gak baek bagi kesehatan). Prediksi ane, mesjid Tolikara bakalan lebih besar daripada yang dibakar sekarang. Dananya udah lumayan banyak gan. Memang terkadang Allah ngasih ujian buat memajukan sebuah daerah, belajar dari tsunami aceh yang daerahnya malah lebih maju setelah kejadian air ke darat itu (pura-pura jadi ustadz sebentar, hehe).

Trus yang anehnya tempo hari, mereka (I mean si noni yang mau ngundang pendeta israel tu), ternyata gak ngantongin izin dari pemda setempat, aapaakaah?? (kayak presenter silet) ada agenda tersembunyi si misionaris zion di papua? yakin aja pasti BIN udah tau tuh, hehe (mungkin temannya tuh, haha). Emang sudah seharusnya organisasi semaca GINI musti di shutdown, sering bikin kezaliman soalnya. Mentang-mentang mayoritas malah belagak preman, istilahnya mereka gak nyadar hidup di "komplek muslim" tapi belagak preman di sekitar rumahnya, ya bakalan koitlah.

Bisa jadi ini kayak test the water (cie...kayak iklan kangen water aja, haha). Kalo test-nya berhasil, mereka bikin yang lebih heboh, kalo gak ya terpaksa mundur. Ini strategi yang lazim bagi minoritas biar jadi mayoritas. Kayak kasus LGBT juga, kalo kita sibuk ama beras, mereka akan "menanak" kita, omaygat!.
Makenye, kita-kita nih yang punya kelebihan rejeki dikit buat isi pulsa internet, jangan diam, minimal share atau like kek berita yg lebih mendukung orang islam daripada teroris-teroris noni itu. Gak usah diremehin lah masalah medsos, kecil besar pasti ada efeknya, dimana ada gula disitu ada semut (gak nyambung), maksud ane dimana ada masalah, disitu aja jalan (kalo gak ada jalan, ya kita hubungi orang PU biar cepet dibangun).


Akhirnya jugang, eh jagungnya udah mateng banget gan (istilah para chef overcook gan, keren kan-cuma itu yang taunya). Silahkan dimakan, jangan lupa bayar. Makan gratis, kenyang bayar (yang gratis kulit sama arangnya doang bro). Kalo gak kenyang salah sendiri gan belinya cuma satu.

Jalan-jalan ke raja ampat
Duit seribu ada disaku
Kalo salah janganlah didamprat
Maafkanlah kesalahan daku

*ngedarin kaleng sumbangan (haha)



  

 

Perjuangan Mengejar Rating dan Dollar dari Jualan Konflik Poligami



Baru buka laptop bingung mau nulis apa. Ya ane komentar masalah film itu aja gan, Syurga Yang Tak Dirindukan, karangan Asma Nadia, yang katanya filmnya bagus walaupun sempat rusuh juga masalah covernya yang mirip Sampul DVD Titanic. Kayaknya pelukannya sih real, bukan sotoshop, ya sesuai ilmu ane yang masih newbie di editing (gak professional, hehe).

Jadi gini, tadi pagi sempet gak enak juga telinga ini pas penulisnya nge-tweet gini; "Ayo ajak keluarga nonton ‪#‎Surgayangtakdirindukan‬ agar perempuan lebih tegar dan yang laki-laki lebih setia" (kurang lebih seperti itu lah).

Nah, ane langsung kepikiran, trus Rasulullah yang poligami gak lebih setia daripada  yang monogami gitu. Sempet ane protes masalah ini di fb walaupun ada seorang teman yang nyindir ya nasib ente aja yg belum bisa poligami. Eh, jangan sembarangan ya, gini-gini gw udah punya rekomendasi buat buka cabang, cuma ya resource sama starter fund belum ada (yaaah sama aja, hehe).

Poligami menurut ane nih ye, tidak bisa dinilai dari pelakunya. Harus dinilai dari syariatnya, sama kayak menilai islam tidak boleh dari pemeluknya tapi dari panduannya, yaitu Quran. Kalo ada pemeluknya yang mencuri ntar malah dianggap islam itu mengajarkan mencuri. Begitu juga dengan poligami, gak boleh donk gara-gara si om-om genit yang suka nikah banyak jadi pertanda buruk poligami. Dont jugde gedebak-gedebook, jangan nilai buku dari sampulnya trus maen hantam aje, hehe.

Mohon maaf kalo si mbak AN baca tulisan ini (gak bakalan dibaca kok, tenang aja, hehe), nyindir dikit gak apa-apa ya.

Ane kira penonton film-film beliau udah mulai ada yang gerah dengan jualan demarketing poligami (berasa kayak pemilu nih, black sampanye, hehe). Memang satu sisi membuat film islami itu susahnya ya di mengatur konfliknya biar lebih syar'i gitu, biar gak ada yang protes. Dulu ane diam-diam aja nih terkait masalah itu, tapi lama-kelamaan kok makin tenar aja kampanye demarketing itu. Nurani ane sebagai pengkritik semakin diuji nih (heran, tiba-tiba aja ada suara jangkriknya).

Gak usah panjang-panjanglah ane tulis, sayang juga nih ntar keyboard laptopnya cepet rusak, harus ganti pulak sama cina tu 250rb di jaya plaza. Jadi, mengharap mbak asma baca tulisan ini memang susah. Mending buat yang nonton filmnya aja. Pesan ane, ya kalo mau nonton ya nonton aja. Gak elok juga habis nonton malah makin jijai sama polipantai. Biasa-biasa aja. Lagipula dulu kan ente-ente dan enti-enti (panggilan buat yg cewek) kurang suka nonton filem yang gak pake jilbab, kok sekarang malah mengkampanyekannya, apa kata kawan kita yang salafi, oh noo.

Memang semua film ada nasehatnya, preman pensiun juga mantap tuh (kaporit ane). Tapi film AN kali ini kurang enak karena di kampanyekan dengan tweet diatas yang sangat tidak sadap di dengar di kuping kiri dan kanan. Silahkan saja beriklan, tapi kan gak mesti kayak provider seluler, gratis tapi ada bayar ujungnya, istilahnya nipu halal (halah, apa pulak tuh?). Marketing yang baik itu kreatif tapi juga gak pake kata yang disalahartikan sama pembaca atau ada tanda petiknya (*syarat ketentuan berlaku). Udahlah, jangan ikut-ikutan cara oknum MLM atau setan kredit yang beriklan bernada menipu (contoh tanpa kerja dapat duit, eh taunya kerja juga nyari downline, hehe, sori bagi yg kesindir, haha).

At las but not less (ini tempat las atau tempat les sih, gak jelas), ane berharap cukup sekianlah terlalu over memaksakan isme-isme yang dipahami oleh penulis dan langsung saja di aplikasikan kepada pembaca, ingat pembacanya juga berasal dari berbagai suku, bangsa dan negara (udah macam PPKN). Kasian juga ibu-ibu muslimah yang mungkin sangat menjaga idealismenya menganggap poli-poli itu halal tapi haram buat suaminya, hehee, harus ikut menjelekkan salah satu syariat dalam islam yaitu berbagi, seperti berbagi harta dan berbagi kebahagiaan (macam pengalaman aja aku ni, haha).

Nah, ujung-ujungnya dari tweet itu yang diserang bisa jadi ust-ust ku yang sering kudengar ceramah dan zikirnya, si aa tu dan si abang itu, ntar malah si penonton malah menganggap mereka kurang terpuji karena walaupun pilemnya bagus tapi iklannya mengesankan poli itu buruk maka ceramah-ceramah mereka akan kurang gregetnya (macam maddog di the raid aja, haha). Biarin ajalah orang JIL JAL JIN JEN itu menjelekkan orang islam, jangan kita ikut membantu kerja mereka, udah gaji gak dapat, ntar kita pula yang jadi korbannya.

Jadi gitu ya, santai aja, sambut aja film itu seperti film-film hollywood dan bollywood lainnya (gak jelas, hehe). Sori kalo banyak kata yang salah, biasa, anak muda beranak dua. Entahlah. Maaf juga buat si mbak kalo tersinggung, kita kan saudara, saudara dari nabi Adam, ya kan, hehe.