Home » » Dari PKS Hingga Gelora: Bekas Luka yang Tak Kunjung Sirna

Dari PKS Hingga Gelora: Bekas Luka yang Tak Kunjung Sirna


Saat mengantar istri ke rumah teman lama di Komplek PKS untuk silaturahim setelah 5 tahun tak bertemu, saya berpapasan dengan 5 orang teman lama di PKS. Saya sangat senang mereka menjawab salam saya walaupun mereka tak sempat bersalaman padahal sudah lebih dari 5 tahun berlalu. Padahal dulu kami sangatlah akrab. Tapi itu tak aneh karena saya pernah keluar dari keanggotaan PKS dan masuk ke Gelora namun setelah itu gak aktif lagi di gelora. Intinya gak dimana-mana. 

Namun saya melihat ada sedikit luka di mata mereka. Karena saya pernah berselisih paham dengan mereka, mungkin sudah saling memaafkan. Saya sudah minta maaf ke beberapa mereka, tapi luka tetaplah luka. Lebih mudah mengobati luka daripada menghilangkan bekas luka.

Saya menyesali dulu pernah tersulut untuk ikut berperang dalam sengketa PKS Gelora. Padahal itu adalah langkah terbodoh yang pernah saya ambil. 

Saya kehilangan teman-teman baik di PKS, sekaligus juga kehilangan teman-teman di Gelora. Karena saya lihat di Gelora memang memprioritaskan tokoh umum yang punya pengaruh dan dana agar tidak terseok di 2024. Itu sangat masuk akal dan bisa dipahami.

Namun saya yang ikut menyeberang kesana ternyata juga gak siap dengan atmosfir politik yang terlalu umum. Anda tidak bisa memaksa seorang alumni 212 yang 20 tahun di PKS kemudian aktif dan luwes di partai yang agak mirip kayak Nasdem atau PDIP. Saya tak se-moderat itu. 

Karena dulu waktu keluar saya juga dijanjikan tetap ada usrah sama seperti di PKS. Setelah keluar malah zonk jadi training dan seminar umum gitu. 

Jujur disitu saya kecewa tapi mau gimana lagi, saya bukan orang yang berpengaruh dan hanya bisa diam. Saat beberapa kali saya sampaikan akhirnya mental dan gak terserap. Akhirnya ya terima saja, memang beginilah kalau kita terlalu percaya kepada politisi.

Dulu saya membantah perkataan bapak saya waktu awal saya kuliah dan mulai aktif di partai. Kata beliau partai politik dimana-mana sama saja. Ketika dibutuhkan kamu akan dipakai, ketika gak dibutuhkan lagi maka kamu akan dibuang. Dulu saya gak mendengar karena bapak saya mantan petinggi partai Golkar, partai nasionalis, bukan partai Islami.

Namun sekarang saya menyadari, mau partai sekuler mau partai Islami, semua punya kepentingan. Dan hal yang bapak saya ucapkan tadi benar-benar berlaku dan sekarang saya baru menyadarinya.

Anda akan dilirik bila:
- Orang biasa tapi bisa diperalat
- Orang punya harta banyak buat mendanai pemilu
- Orang yang punya suara dan pengaruh di masyarakat

Sedangkan saya gak punya satupun ciri diatas.

Jadilah saya ke kiri gak ke kanan gak.

Sudahlah, 
Namun yang saya sedihkan adalah saya kehilangan teman baik saya di PKS yang sampe sekarang hanya bisa komunikasi via WA. Mungkin mereka gak mau bertemu karena takut dikira macam-macam kalo sampe berfoto dengan saya. Dan saya mengerti itu.

Dulu waktu keluar dari PKS saya udah tegaskan tetap akan menjalin komunikasi yang baik dengan temen-temen akrab. Walaupun ada juga beberapa kader yang membuat saya kesal karena over react,tapi itu jumlahnya sedikit. 

Dulu saya keluar hanya karena oknum pimpinan yang kurang menghargai kader kecil seperti kami yang masih mikirin beras tapi masih disuruh paksa bai'at ulang, begini begitu. Akhirnya saya sebagai orang Aceh yang sangat anti dengan hal itu akhirnya keluar, dengan jaminan dari temen bahwa sebelah sana ada juga usrahnya. 

Tapi janji tinggal janji, bubur kanji terlanjur basi.

Akhirnya disinilah saya. Dijauhi oleh PKS dicueki di Gelora. 

Kalo dipikir-pikir ya salah saya juga kenapa harus mempercayai mereka semua.

Mereka hanya butuh keahlianmu, tenagamu, mereka hanya butuh kamu sebagai alat. 

Mendadak jadi ingat pas ketemu ketua partai di sebuah mesjid dan saya ditertawai. Saya langsung tau arah dan maksud sikapnya tersebut. Bahwa saya gak jelas, gak bisa pake. 

Btw, saya biasanya menilai orang melihat saya dari matanya. Bukan dari kata-katanya. Karena mata gak bisa bohong.

Dan terbukti sampe sekarang saya gak bisa di pake. Gak bisa diatur seenaknya.

Gak bisa diperalat.

Kalopun mau kerjasama maka saya akan minta bayaran atas keahlian dan waktu yang terbuang. Jelas-jelas aja soalnya para politisi juga menikmati hasil yang tidak sedikit. Intinya saya bisnis. Saya bukan anggota partai manapun, tapi kalo mau kerjasama ya seperti pelanggan konveksi saya. Harus cash. Tak ada istilah "ini untuk dakwah, ini untuk kemajuan Indonesia".

Maaf dapur kami butuh beras. Kami belum kaya.

Maafkan saya yang terlanjur materialistis, tapi ketika anda tinggal di kota besar hal itu akan masuk akal.

Tak ada ukhuwah sejati disana
Tak ada teman sejati disana

Teman sebenar adalah keluarga, yang beneran care saat kita sakit. Yang mendoakan, bukan sekedar nulis doa di komen dan like.

Keluarga, yang dulu kita kesampingkan untuk kepentingan dakwah dan politik kita, nyatanya lebih tulus. Lebih ikhlas, walau bagaimanapun tingkah laku dan kesalahan kita. 

Keluarga adalah tempat kita berantem dan berbaikan kembali.

Namun di partai politik dan jamaah, hal itu jarang bisa terjadi.

Bekas luka akan selalu ada.

Walaupun tak termaafkan minimal sudah mencoba berkata: maafkan saya atas semua kelakuan dan salah saya. Teruntuk semua kader PKS dan Gelora.

Semoga di akhirat tak ada dosa diantara kita, sehingga dimudahkan masuk ke jannah-Nya. Amin ya Rabbal 'alamin.



0 comments:

Post a Comment

silahkan komentar...jangan pake pedes ya...hehe