Home » » Hilangnya Teman Ngopi di Aceh

Hilangnya Teman Ngopi di Aceh


Satu sisi saya merasa perlu menulis ini, tapi disisi lain saya merasa gak perlu. Tapi akhirnya saya putuskan untuk menulis, walaupun sebelumnya takut dianggap curhat, ngeluh atau baper.

Jadi gini, mudik kali ini adalah termasuk mudik terberat selama saya merantau. Setelah bisnis babak belur dihantam pandemi, dengan dana tersisa kami putuskan pulang kampung karena ada kewajiban mengabdi kepada ortu yg sudah tua dan sakit-sakitan, karena lebih prioritas keluarga daripada bisnis.

Jujur saja, kami menghabiskan dana hampir 20 jutaan untuk mudik kali ini. Tau sendiri kan kalo tiket pesawat bener gila-gilaan kalo udah dekat lebaran, padahal kami pesan agak jauh dikit dengan lebaran tapi tetap saja mahal karena baru kali ini arus mudik yang paling ramai karena pandemi hampir berakhir dan syarat penerbangan gak seribet dulu.

Saya berjanji tak akan baper bila di kampung halaman dianggap gak sukses, belum jadi orang karena gak jadi PNS atau belum jadi pengusaha yang sukses. 

Tapi rasa baper itu nyelip juga dikit-dikit hingga membuat saya tersadar "I'm not belong here". Tempat saya bukan disini. Saya sudah cocok merantau ke Bandung, dimana saking majemuknya penduduk mereka gak memperdulikan mana yang PNS mana yang sukses mana yang biasa aja. Terkadang nafsi-nafsi itu menguntungkan bagi orang-orang yang belum sukses seperti kami. 

Kami mudik hanya 10 hari. Dan sudah 5 tahun kami gak mudik. Dan satu hal yang saya fokuskan, yaitu mudik kali ini adalah untuk ortu dan mertua. Mengunjungi orang tua. Saya tak terlalu berharap bisa bertemu dengan teman-teman lama dengan alasan:

Kader PKS: saya sudah gak di partai (sebagian kader mungkin menganggap saya penghianat karena ada yang gak mau salaman waktu ketemu kemaren)
Kader Gelora: saya juga gak di partai (sebagian kader menganggap saya bukan lagi bagian dari mereka, komentar dan like juga gak pernah hinggap lagi. Kayak perkataan seorang petinggi "gak beres dia", merujuk ke orang kayak saya yang suka mengkritik)
Alumni dakwah kampus: udah lost contact, yang dicontact pasti istri saya soalnya dia mantan wakil ketua, disenangi semua orang
Alumni KAMMI: "tongkrongan kami, bukan tongkrongan pecundang"
Alumni Kampus: saya gak punya circle disini, siapa saya yang pede ngajak ketemuan
Alumni sekolah: saya juga gak punya circle disini, siapa saya. Pejabat bukan pengusaha sukses bukan. Jadi minder ketemuan.

Kedengaran kayak curhat kan? Emang!

Sedih? Dikit. Menyesal mudik? Gak!

Ini membuka mata dan memastikan hati saya bahwa saya sudah 10 tahun merantau saya selalu rindu kampung halaman, dan merasa kayaknya sekarang saya gak rindu lagi sekarang. Dan faktanya juga, walaupun banyak komunikasi via medsos tetap aja pertemanan terbaik adalah dengan bertemu. 

Dan 10 hari saya di Aceh, saya gak ngopi dengan satupun temen. 

Bener, gak ngopi. Gak ketemu. 

Ngopi, adalah budaya wajib bagi laki-laki yang punya temen di Aceh. Aceh adalah syurganya ngopi, kemanapun anda pergi pasti banyak warung kopi disini. 

Intinya saya kehilangan teman, kehilangan teman ngopi yang dulu pernah ada sebelum merantau 10 tahun lalu. 

Ironisnya, friends dan follower di FB sekitar 6000, IG 1500an, friend di medsos lain jumlahnya ribuan. Ini jadi bukti bagi anda bagi saya bahwa kawan di medsos itu bener-bener maya. Kawan sebenarnya adalah yang mau duduk berbincang deep talk walaupun dia gak aktif di medsos. 

Apakah circle temen ngopi memprioritaskan yang punya jabatan dan sudah sukses? Bisa jadi. Karena ada kejadian yang begitu. Liat aja kalo ketemu biasanya yang jabatannya mentereng pasti disambung dengan hebring, dielu-elukan, dipuji-puji. Sedangkan yang belum sukses biasanya meringkuk sendiri makan nasi bungkus di pojokan.

Itu adalah realita dunia, bahwa yang berjabatan akan dipandang. 

Ya, yang berjabatan dan punya pengaruh akan dipandang. Ini fakta.

Dari tulisan ini anda bisa juga menyimpulkan bahwa bisa jadi yang nulis inilah yang gak pandai berkawan, gak pandai bersosialisasi. 

Nah itu bisa jadi, karena semenjak di perantauan hidup saya sangat keras sehingga membatasi pertemanan dengan yang lain. Ditambah lagi perang antar PKS dan Gelora membuat saya gak bisa kemana-mana. Kader PKS menganggap saya udah berkhianat, sedangan Kader Gelora menganggap saya gak bisa dipake dan diatur. Akhirnya saya gak kemana-mana. Hanya bisa fokus bisnis dan bikin konten dakwah di medsos sebagai aktualisasi saya sebagai da'i saja.

Hidup saya sepi? Ya 
Terlalu sepi? Gak juga, saya punya keluarga yang luar biasa. Teman saya adalah keluarga.

Malah realita itu menyadarkan saya akhir-akhir ini. Bahwa saat kita mati, kita gak bisa manggil siapa-siapa lagi. Hanya kita dan amal kita yang sebenarnya menuju akhirat. Uang, jabatan, pengaruh gak mempan disana.

Saat kemaren saat membaca WA ada seorang tokoh, teman sekaligus adik angkatan saya yang meninggal karena sesak, itu saya sedang mengantri di depan ruang dokter spesialis dengan keluhan yang sama, yaitu sesak. Dan sedihnya, saya pernah beradu argumen dan sampe ia meninggal saya belum sempat minta maaf. Jujur itu masih terbayang hingga sekarang. Sedihnya sampe hari ini.

Saya juga iri sama almarhum. Saat dia meninggal semua sedih semua berduka. Saya mencoba merasa-rasa saat hampir meninggal saat sesak kemaren itu, siapa yang bersedih bila saya meninggal. Paling ortu, saudara, istri dan anak-anak. Yang lain mungkin hanya tau dari FB, menulis innalilahi kemudian tiga hari kemudian sudah lupa. Habis sudah kisah saya di dunia ini. The end, ya gitu aja. Hanya aku sendiri di dalam lubang itu.

Apa yang kucari di dunia ini?

Apa yang akan kutinggalkan?

Berapa orang yang telah tersakiti hingga mereka enggan bertemu?

Berapa orang yang terzalimi sehingga friend request saja tak terjawab?

Berapa orang temen yang marah karena dikritik?

Akhirnya saya ikhlas, saya akan jalani hidup dengan sebaiknya. Dengan keseriusan, dengan niat dakwah. Apapun kata orang.

Maafkan kesalahan saya di masa lalu. Atas kebodohan, atas adu domba, atas kelancangan dan kekasaran. Apapun organisasimu apapun partaimu apapun jamaahmu, kamu adalah sahabatku. 

Sengaja saya tulis ini agar suatu saat saya mati, ada yang menyadari bahwa pernah hidup seorang manusia yang membuat kesalahan, menyesalinya dan menanggung akibatnya. Terlupakan namun insya Allah tulisan dan semoga saja konten dakwahnya takkan terlupakan dan berharap menjadi amal di akhirat nanti. Untuk mengimbangi dosa-dosa yang menggunung tinggi dan bikin ngeri.


Yang penuh kekurangan dan kesalahan,


Mirza

0 comments:

Post a Comment

silahkan komentar...jangan pake pedes ya...hehe